Orang-orang
hebat adalah orang-orang yang pada saat
pemilihan menteri, wamen, dirjen, atau duta besar dia tidak merasa sakit hati,
kecewa, atau prustasi karena tidak terpilih oleh presiden untuk menduduki
jabatan tersebut. Ia melihatnya sebagai kebaikan karena saat ini tidak terpilih
menjadi menteri untuk memimpin suatu departemen. Sekalipun namanya telah
mencuat dan beredar di kalangan masyarakat dan menjadi bahan pergujingan
diantara lingkungan pertemanannya. Ia
tidak merasa malu, kecil hati, atau menarik diri dari lingkungannya karena
namanya tidak terpilih.
Orang-orang yang mempunyai hati
nurani, arif, dan selalu berprasangka baik, apabila namanya tidak terpilih
untuk menjadi pimpinan suatu organisasi kementerian atau lembaga, ia segera
bermuhasabah bahwa barangkali Allah memang belum memberikan kepercayaan
kepadanya. Mereka beristighfar dan memuji kebesaran Allah, serta mendo’akan
kepada teman-temannya yang terpilih itu agar dalam melaksanakan program
pemerintah yang diembannya itu berjalan lancar dan sukses. Ia tidak merasa
sakit hati, tersisihkan, atau tereliminasi dari lingkungannya, tetapi
berkomitmen mendukung program dan kebijakan temannya itu yang kini menjadi
pimpinannya itu.
Dalam satu
riwayat pernah Nabi SAW menasihati seorang sahabat Abdurrahman bin Samurah r.a
yang berkaitan dengan jabatan : “Wahai
Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika
engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah Ta'ala
dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena
permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Setiap orang dipastikan mempunyai ambisi
untuk menjadi seorang pemimpin. Karena menjadi pemimpin disuatu organisasi
departemen, lembaga atau institusi memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa
nafsunya antara lain ingin menjadi populer, ingin menjadi terkenal, ingin
mendapat penghormatan dari orang lain, merasa kedudukan atau status sosialnya
yang tinggi, menyombongkan diri dan ingin dipuji, dapat memerintah dan
menguasai, dapat menambah harta kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Islam tidak pernah sembarangan dalam memilih seorang
pemimpin atau penguasa, apalagi seseorang yang datang menyodorkan dirinya untuk
diangkat menjadi seorang pemimpin. Hadits di atas menunjukkan, petunjuk dari Nabi
SAW kepada ummatnya agar tidak meminta-minta untuk menjadi pemimpin, penguasa
atau pejabat. Karena menjadi pemimpin itu adalah pemegang amanah. Ia harus
menjalankan amanah itu sebagaimana mestinya.
“Setiap
kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas
kepemimpinannya” (Al hadist). “Tiap-tiap
diri bertangung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” ( QS Al-Mudatstsi : 38).
“Dan tidak lah seorang membuat dosa melainkan kemudhratannya kembali kepada
dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” (QS
Al- Anam :164). “Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas
yang mereka tinggalkan” (QS Yasin : 12). Menjadi pemimpin di level apapun maka
Allah akan meminta pertanggungjawabannya diakherat kelak. Akankah kita akan
menjadi pemimpin yang amanah?.
Orang-orang yang terpilih atau dipilih untuk menjadi
pemimpin adalah orang-orang yang dinilai dapat menjalankan amanah, cakap,
mempunyai integritas, jujur, bersih, komitmen dan profesional dalam profesinya.
Tidak berniat untuk menjadi seorang KORUPTOR atau memperkaya diri, tetapi mengedepankan
kepentingan masyarakat banyak dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman,
sejahtera, adil dengan berpedoman kepada
Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar