Sabtu, 17 Mei 2014

Hidup Itu Pilihan Kita

Pada saat kita terlahir ke dunia, sungguh kita dalam keadaan telanjang dan tidak memiliki apa-apa. Kita hidup sangat tergantung atas kasih sayang yang diberikan orang tua, dan perhatian orang-orang yang dekat dengan kita. Mereka do’akan kita semoga kelak menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsa, dan menjadi anak yang saleh/salehah yang berbakti kepada orang tua.

Seiring dengan perjalanan waktu, kita mulai mengenal diri kita, teman-teman, dan lingkungan hidup kita. Kita berada dalam dunia anak-anak, remaja, dan dewasa. Orang tua kita menyekolahkan kita agar menjadi anak yang pintar dan cerdas mulai PAUD sampai mencapai gelar sarjana. Pada hari-hari tertentu orang tua membawa kita ke pengajian di surau atau masjid agar kita menjadi anak yang baik dan mengenal agama yang kita anut. Kita diberi pelajaran mengenai shalat, puasa, kejujuran, keadilan, keikhlasan, bertanggungjawab, etika, moral, budi pekerti, disiplin dan berbagai jalan menuju kebaikan, serta diajarkan pula agar jangan melakukan kebohongan, kecurangan, dan apalagi sampai mengambil hak orang lain.

Setelah kita mulai bekerja dan mengenal hidup dalam lingkungan kerja, mulailah muncul berbagai keinginan yang lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Kita mulai mengenal yang namanya prestasi, dedikasi, kedudukan, mencari pasangan hidup (wanita/suami) untuk berkeluarga, dan harta kekayaan yang kemudian menjadi obsesi setiap orang.

Dalam mencapai obsesi itu, terkadang kita lupa diri untuk mencapainya. Bahkan dengan berbagai cara termasuk cara-cara yang tidak terpuji dan yang diharamkan menurut syar’i.

Perbuatan curang dan tidak terpuji itu kita lakukan berarti kita  sudah berani melanggar sumpah dan janji pada diri sendiri. Padahal sewaktu kita diberi kepercayaan pimpinan untuk menduduki suatu jabatan kita bersumpah dengan mengangkat qur’an dan dengan menyebut asma Allah, tapi kita terlena dalam korupsi menggerogoti keuangan Negara untuk memperkaya diri dengan cara melanggar hukum. Apabila perbuatan kita itu diketahui KPK akhirnya kita terpojok digiring ke RUTAN sebagai tersangka atau terdakwa KORUPSI. Tinggal di RUTAN yang kamarnya sempit bukanlah takdir, tetapi itu adalah pilihannya sendiri.

Barangkali kita harus kasihan kepada mereka yang kini tinggal di RUTAN-RUTAN yang dijaga polisi dan sipir penjara. Makannya saja di dibatasi, ruang geraknya diawasi, dan pergerakan sehari-harinya diamati padahal rumah besar lux yang dibangunnya itu jauh lebih nyaman dan mewah dibanding RUTAN yang menjadi impiannya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar