“Demi
waktu. Sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi. Kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal shalih serta saling menasihati tentang kebenaran dan
kesabaran”. (QS Al Ashr : 1-3)
Memanfaatkan Waktu Yang Tersisa
Aku
bukanlah siapa-siapa. Tapi aku ada diantara kalian. Aku tidak bisa lagi berbuat
sesuatu atau menolong seseorang karena ketiadaanku dalam uang dan harta. Tidak
seperti dulu waktu aku masih berjaya dan ada kuasa. Pada waktu aku masih punya
lembaran kertas warna hijau bergambar George Washington atau warna merah
bergambar Sukarno atau kertas warna biru bergambar Suharto. Tapi aku masih
bersyukur ada kesempatan berbuat kebaikan walaupun aku dalam kesempitan.
Aku
sekarang bukanlah orang kaya seperti mereka yang bisa pergi kemana saja.
Sekarang ini ruang gerak-ku sangat terbatas. Aku tidak bisa lagi pergi ke
tempat-tempat hiburan atau pergi liburan. Aku sudah tidak bisa lagi pergi ke
mall atau plaza seperti dulu. Apalagi ke foodcourt, ke kafe, ke restoran atau
hotel. Karena aku memang sudah menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Harta
kekayaanku sebidang tanah sudah aku jual untuk makan dan bayar hutang.
Sedangkan mobilku hanya tinggal kenangan. Sehingga kemana aku pergi aku hanya naik
bus umum, angkot, ojek, berjalan kaki atau sesekali menggunakan taksi.
Kalau aku
ada undangan teman atau seseorang yang aku kenal. Apakah itu di gedung
pertemuan atau di hotel aku tetap datang dengan taksi. Aku merasa bangga karena
aku dapat duduk dengan nyaman dan tenang karena disupiri oleh supir yang
profesional. Walaupun aku terkadang bingung saat aku hendak pulang, karena aku harus
mencari taksi diluar gedung pertemuan. Jika kebetulan bertemu kawan, Ia pasti
menyapaku “mas, mobil-mu diparkir di sebelah mana?”. Terkadang aku terlampau
jujur mengatakan aku bilang “aku mau cari taksi” dan temanku yang baik itu pasti
berucap “mas ikut aku saja ke luar”. Tapi aku harus menolaknya karena aku tidak
ingin menyusahkan orang lain.
Mobil
adalah alat transportasi dan prestige, dan aku tidak merasa rendah hati walau
aku tidak memiliki. Aku tidak merasa iri kepada teman yang memiliki mobil karena
dulupun aku pernah mempunyai mobil. Aku lihat masih banyak orang-orang
disekitarku yang tidak mempunyai kendaraan seperti aku. Aku terkadang masih
berbangga karena aku masih dapat menggunakan taksi kemana aku pergi. Ada
bermacam merk mobil yang aku suka dan aneka warnanya. Ada warna putih, biru, abu-abu,
kuning atau warna cream. Aku bilang, Supirku memparkirnya dibanyak tempat dan
bila aku perlu cukup kuangkat telpon dan memanggil mereka setiap saat. Belum
lagi mobilku yang besar berwarna merah bertuliskan 69 atau 44. Aku tinggal naik
dan tidur disepanjang perjalanan.
Pendidikanku
tidak tuntas dan tidak selesai karena aku tidak bisa membiayai pendidikan yang
aku tempuh. Padahal aku ingin sekali menjadi seorang Doktor ahli manajemen, es
de em, komunikasi, atau politik. Suatu titel tertinggi dibidang pendidikan agar
aku mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas dalam bidang sosial. Atau dalam
kehidupan dimasyarakat, agar aku dapat dijadikan tempat untuk bertanya untuk
kemaslahatan umum. Namun aku harus cukup puas dengan strata kelas yang aku
miliki karena masyarakat disekelilingku tidak ada yang bertitel doktor. Dengan
pendidikanku yang Strata Satu itu aku cukup puas karena memang aku raih gelar
itu dengan skripsi tulisanku sendiri. Aku lulus dengan gemilang walau aku
dibantai dalam sidang ujian oleh pembimbingku sendiri. Dengan ijazah itulah aku
bisa berdiri dan aku bisa melihat luar negeri. Juga daerah-daerah propinsi yang
sebelum itu aku tidak pernah mimpi untuk mengunjungi.
Di
instansi perkantoran tempat aku bekerja, aku bukanlah seorang pejabat tapi
hanya sebagai tenaga staf dan tukang photocopy. Bahkan aku pernah sebagai
tukang kliping berita dan tukang stensil. Tapi aku jalani dengan hati nurani
karena itulah perjalanan karirku. Sesekali pimpinanku memberi tugas sebagai
kurir pembawa surat, kadang-kadang diminta untuk mengonsep surat dan mengetik
laporan. Pekerjaanku hanya sebatas perintah yang diinstruksikan oleh seorang
kepala atau pimpinan. Walaupun kadang-kadang aku ada inisiatif, tapi semua
berpulang kepada pimpinan. Aku hanya seorang pelaksana. Tidak lebih.
Aku tidak
iri dengan mereka yang punya jabatan tinggi dan sering pergi ke luar negeri.
Karena dahulupun aku pernah ditugaskan pimpinan keluar negeri, dan aku dapat
pergi bersama dengan isteri dan anak-anakku. Jabatanku di perwakilan hanyalah
menjalankan perintah. Mendampingi pejabat dan membawa koper. Mengantar pejabat
ke hotel dan mendampingi penugasannya. Aku tidak lebih dari seorang kuli tapi
pakai jas dan dasi. Aku tidak malu dengan teman-teman lain dengan status
profesiku ini karena paspor-ku berwarna hitam, dan aku memang lulusan sekolah
dinas luar negeri di departemen luar negeri.
Penugasanku
ke luar negeri menjadi kebanggaanku. Sehingga anak-anakku mempunyai pengalaman
dan pengetahuan tentang luar negeri. Tidak hanya sekedar melihat di televisi.
Aku bangga anak-anaku bisa berceritera tentang kehidupan di luar negeri karena
ia sekolah dengan bukan bangsanya sendiri. Sekarang semua itu tinggal kenangan
dan sekarang aku belajar untuk menerima keadaan yang aku miliki saat ini.
Aku
menyadari posisiku yang hanya sebagai pegawai kecil. Dan aku bukan siapa-siapa
buat mereka apalagi buat negara. Kiprahku tidak kentara dibandingkan
teman-temunku yang berprestasi hebat. Aku tidaklah punya nama karena memang aku
hanya ada dibelakang meja dan sebagai penyerta. Sekarang aku diluar mereka dan
bersama teman-teman lain yang dianggap tidak berguna. Sekalipun aku ada
diantara mereka, namun mereka tidak peduli karena masing-masing orang mengejar
obsesinya sendiri. Mereka orang-orang yang masih aktif dan punya peran dalam
aktivitas Negara. Sedangkan aku sudah pensiunan dan tidak lagi mempunyai peran.
Aku sudah menjadi orang yang terpinggirkan dari lingkaran birokrasi. Sehingga
bila bertemu kawan yang masih aktif jangankan bertegur sapa, bertemu saja
mereka membuang muka. Mereka tidak mau lagi berkataria. Katanya, aku sudah
tidak selevel lagi dengan mereka dan dia. Bahkan
ada yang sengaja menghindar karena takut kalau diminta uang.
Mereka
begitu sibuk. Kalau mereka bekerja tidak pernah lepas berkemeja dan berdasi.
Bila ada acara-acara dinas merekapun memakai jas dan sangat dihormati. Mereka
bergaul dengan hanya sesama kolega dan seprofesi saja. Dirumah kediamannya,
supir dan satpam siap mengabdi untuk menjagai mereka. Ada aturan yang
diterapkan tidak boleh sembarang orang yang bukan selevel untuk bisa ketemu,
sekalipun aku pernah mengenalnya dan bagian dari mereka.
Aku
bukanlah siapa-siapa. Karena aku tidak pernah terlihat dalam kegiatan besar
dimasyarakat. Aku hanya seorang insan yang hanya mengabdi bagi kemaslahatan
umum yang menginginkan hidup di lingkungan kehidupan yang nyaman, aman dan
Islami. Aku menjalani hari-hariku bagi kebahagiaan orang lain dan aku tidak
ingin punya nama atau berpamer riya dalam berkarya. Aku terkadang merasa malu
karena disekelilingku banyak orang yang lebih pintar dan cerdas dariku. Ia bisa
berdakwah, bisa berdo’a, bisa memberi nasehat, dan bisa menjadi motivator.
Sekarang
ini aku merasa terpanggil. Aku harus belajar dan setidaknya sama dengan mereka
atau selevel dibawahnya. Tapi aku tidak peduli atau malu hati untuk belajar
mengaji bersama-sama orang yang mempunyai hati. Kupikir aku masih diberi
kesempatan untuk menimba ilmu agama yang tak pernah aku pelajari sewaktu aku
masih aktif dulu. Sekalipun dulu aku pernah belajar mengaji, tapi ternyata aku
miskin dalam ilmu agama, apalagi dalam mengaji dan mengkaji ayat-ayat Al Qur’an.
Sungguh
aku malu dengan diriku sendiri, padahal aku pernah pergi keluar negeri ke
Amerika Serikat, ke Las Vegas, ke Arizona, ke Washington dc, ke Singapore, ke
Malaysia, ke Bangkok, ke Manila, ke Seoul, ke China dan bahkan pergi ke
propinsi-propinsi di wilayah Indonesia. Tapi aku miskin ilmu agama. Aku miskin hapalan
do’a. Aku miskin bacaan Al Qur’an. Aku tidak mengenal apa yang namanya ilmu
mahraj, tajwid, nahwu, sharaf, dan lainnya. Aku malu belum sepenuhnya mengerti
tentang rukun islam, rukun iman dan rukun ihsan. Betapa bodohnya aku yang
ketinggalan ilmu agama dengan mereka yang telah mengerti lebih dahulu tentang
agama yang dianutnya. Tapi, Aku bersyukur masih diberi waktu dan kesempatan
untuk belajar. Aku bersyukur masih dikasih kesehatan badan dan dikuatkan kakiku
untuk berjalan. Sehingga setiap waktu aku dapat pergi ketempat majlis ilmu
sambil membawa tas kecil dipundak yang berisi kertas-kertas catatan tafsir
qur’an. Aku bangga dalam usiaku yang dianggap sebagai orang lansia tapi aku
masih tetap belajar. Komunitasku saat ini adalah orang-orang tua yang masih
punya semangat belajar. Aku bertekad memanfaatkan waktu yang tersisa dalam
mencari sesuatu yang terbaik untuk kehidupanku dimasa depan.
Dulu
kantor pusatku hanya ada di jalan pejambon. Kini kantorku adalah masjid dan
mushala. Tempat rapatku adalah majlis ilmu dan tempat-tempat orang yang suka
memberi ceramah. Komunitasku adalah orang-orang tua yang telah renta dan papa. Yang
jalannya saja sudah susah. Yang rambutnya sudah putih-putih. Dan kalau bicara
agak sedikit keras karena pendengarannya sudah kurang peka.
Aku
bersyukur duduk dalam organisasi sosial yang setiap waktu bekerja untuk orang-orang
yang terkena musibah. Aku dan teman-temanku yang setia selalu bekerja bersama. Kalau
ada musibah kendaraanku ambulan pengangkut jenazah. Dan tugasku mengantar
mereka ketempat peristirahatan yang terakhir untuk selama-lamanya.
Ya Allah,
berilah kesehatan kepadaku untuk aku dapat mengabdi pada pekerjaan sosial ini.
Aku sama sekali tidak mengharapkan sesuatu. Aku tidak mencari nama atas
pekerjaaku ini. Aku hanya mencari ridha-MU dalam memanfaatkan sisa umurku ini
untuk amalan dan kebaikan bagi banyak orang. Ya Allah berikanlah aku kesempatan
untuk aku mengamalkan ilmuku agar dapat bermanfaat bagi banyak orang. Ampunilah
aku ya Allah jika aku salah atau khilaf dalam dalam aku beramal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar