Sabtu, 17 Mei 2014

Memanfaatkan Waktu Yang Tersisa

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat  memajukannya”. (QS 7:34)

“Demi waktu. Sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih serta saling menasihati tentang kebenaran dan kesabaran”. (QS Al Ashr : 1-3)
 
Memanfaatkan Waktu Yang Tersisa

Aku bukanlah siapa-siapa. Tapi aku ada diantara kalian. Aku tidak bisa lagi berbuat sesuatu atau menolong seseorang karena ketiadaanku dalam uang dan harta. Tidak seperti dulu waktu aku masih berjaya dan ada kuasa. Pada waktu aku masih punya lembaran kertas warna hijau bergambar George Washington atau warna merah bergambar Sukarno atau kertas warna biru bergambar Suharto. Tapi aku masih bersyukur ada kesempatan berbuat kebaikan walaupun aku dalam kesempitan.

Aku sekarang bukanlah orang kaya seperti mereka yang bisa pergi kemana saja. Sekarang ini ruang gerak-ku sangat terbatas. Aku tidak bisa lagi pergi ke tempat-tempat hiburan atau pergi liburan. Aku sudah tidak bisa lagi pergi ke mall atau plaza seperti dulu. Apalagi ke foodcourt, ke kafe, ke restoran atau hotel. Karena aku memang sudah menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Harta kekayaanku sebidang tanah sudah aku jual untuk makan dan bayar hutang. Sedangkan mobilku hanya tinggal kenangan. Sehingga kemana aku pergi aku hanya naik bus umum, angkot, ojek, berjalan kaki atau sesekali menggunakan taksi.

Kalau aku ada undangan teman atau seseorang yang aku kenal. Apakah itu di gedung pertemuan atau di hotel aku tetap datang dengan taksi. Aku merasa bangga karena aku dapat duduk dengan nyaman dan tenang karena disupiri oleh supir yang profesional. Walaupun aku terkadang bingung saat aku hendak pulang, karena aku harus mencari taksi diluar gedung pertemuan. Jika kebetulan bertemu kawan, Ia pasti menyapaku “mas, mobil-mu diparkir di sebelah mana?”. Terkadang aku terlampau jujur mengatakan aku bilang “aku mau cari taksi” dan temanku yang baik itu pasti berucap “mas ikut aku saja ke luar”. Tapi aku harus menolaknya karena aku tidak ingin menyusahkan orang lain.

Mobil adalah alat transportasi dan prestige, dan aku tidak merasa rendah hati walau aku tidak memiliki. Aku tidak merasa iri kepada teman yang memiliki mobil karena dulupun aku pernah mempunyai mobil. Aku lihat masih banyak orang-orang disekitarku yang tidak mempunyai kendaraan seperti aku. Aku terkadang masih berbangga karena aku masih dapat menggunakan taksi kemana aku pergi. Ada bermacam merk mobil yang aku suka dan aneka warnanya. Ada warna putih, biru, abu-abu, kuning atau warna cream. Aku bilang, Supirku memparkirnya dibanyak tempat dan bila aku perlu cukup kuangkat telpon dan memanggil mereka setiap saat. Belum lagi mobilku yang besar berwarna merah bertuliskan 69 atau 44. Aku tinggal naik dan tidur disepanjang perjalanan.

Pendidikanku tidak tuntas dan tidak selesai karena aku tidak bisa membiayai pendidikan yang aku tempuh. Padahal aku ingin sekali menjadi seorang Doktor ahli manajemen, es de em, komunikasi, atau politik. Suatu titel tertinggi dibidang pendidikan agar aku mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas dalam bidang sosial. Atau dalam kehidupan dimasyarakat, agar aku dapat dijadikan tempat untuk bertanya untuk kemaslahatan umum. Namun aku harus cukup puas dengan strata kelas yang aku miliki karena masyarakat disekelilingku tidak ada yang bertitel doktor. Dengan pendidikanku yang Strata Satu itu aku cukup puas karena memang aku raih gelar itu dengan skripsi tulisanku sendiri. Aku lulus dengan gemilang walau aku dibantai dalam sidang ujian oleh pembimbingku sendiri. Dengan ijazah itulah aku bisa berdiri dan aku bisa melihat luar negeri. Juga daerah-daerah propinsi yang sebelum itu aku tidak pernah mimpi untuk mengunjungi.

Di instansi perkantoran tempat aku bekerja, aku bukanlah seorang pejabat tapi hanya sebagai tenaga staf dan tukang photocopy. Bahkan aku pernah sebagai tukang kliping berita dan tukang stensil. Tapi aku jalani dengan hati nurani karena itulah perjalanan karirku. Sesekali pimpinanku memberi tugas sebagai kurir pembawa surat, kadang-kadang diminta untuk mengonsep surat dan mengetik laporan. Pekerjaanku hanya sebatas perintah yang diinstruksikan oleh seorang kepala atau pimpinan. Walaupun kadang-kadang aku ada inisiatif, tapi semua berpulang kepada pimpinan. Aku hanya seorang pelaksana. Tidak lebih.

Aku tidak iri dengan mereka yang punya jabatan tinggi dan sering pergi ke luar negeri. Karena dahulupun aku pernah ditugaskan pimpinan keluar negeri, dan aku dapat pergi bersama dengan isteri dan anak-anakku. Jabatanku di perwakilan hanyalah menjalankan perintah. Mendampingi pejabat dan membawa koper. Mengantar pejabat ke hotel dan mendampingi penugasannya. Aku tidak lebih dari seorang kuli tapi pakai jas dan dasi. Aku tidak malu dengan teman-teman lain dengan status profesiku ini karena paspor-ku berwarna hitam, dan aku memang lulusan sekolah dinas luar negeri di departemen luar negeri.

Penugasanku ke luar negeri menjadi kebanggaanku. Sehingga anak-anakku mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang luar negeri. Tidak hanya sekedar melihat di televisi. Aku bangga anak-anaku bisa berceritera tentang kehidupan di luar negeri karena ia sekolah dengan bukan bangsanya sendiri. Sekarang semua itu tinggal kenangan dan sekarang aku belajar untuk menerima keadaan yang aku miliki saat ini.

Aku menyadari posisiku yang hanya sebagai pegawai kecil. Dan aku bukan siapa-siapa buat mereka apalagi buat negara. Kiprahku tidak kentara dibandingkan teman-temunku yang berprestasi hebat. Aku tidaklah punya nama karena memang aku hanya ada dibelakang meja dan sebagai penyerta. Sekarang aku diluar mereka dan bersama teman-teman lain yang dianggap tidak berguna. Sekalipun aku ada diantara mereka, namun mereka tidak peduli karena masing-masing orang mengejar obsesinya sendiri. Mereka orang-orang yang masih aktif dan punya peran dalam aktivitas Negara. Sedangkan aku sudah pensiunan dan tidak lagi mempunyai peran. Aku sudah menjadi orang yang terpinggirkan dari lingkaran birokrasi. Sehingga bila bertemu kawan yang masih aktif jangankan bertegur sapa, bertemu saja mereka membuang muka. Mereka tidak mau lagi berkataria. Katanya, aku sudah tidak selevel lagi dengan mereka dan dia. Bahkan ada yang sengaja menghindar karena takut kalau diminta uang.

Mereka begitu sibuk. Kalau mereka bekerja tidak pernah lepas berkemeja dan berdasi. Bila ada acara-acara dinas merekapun memakai jas dan sangat dihormati. Mereka bergaul dengan hanya sesama kolega dan seprofesi saja. Dirumah kediamannya, supir dan satpam siap mengabdi untuk menjagai mereka. Ada aturan yang diterapkan tidak boleh sembarang orang yang bukan selevel untuk bisa ketemu, sekalipun aku pernah mengenalnya dan bagian dari mereka.

Aku bukanlah siapa-siapa. Karena aku tidak pernah terlihat dalam kegiatan besar dimasyarakat. Aku hanya seorang insan yang hanya mengabdi bagi kemaslahatan umum yang menginginkan hidup di lingkungan kehidupan yang nyaman, aman dan Islami. Aku menjalani hari-hariku bagi kebahagiaan orang lain dan aku tidak ingin punya nama atau berpamer riya dalam berkarya. Aku terkadang merasa malu karena disekelilingku banyak orang yang lebih pintar dan cerdas dariku. Ia bisa berdakwah, bisa berdo’a, bisa memberi nasehat, dan bisa menjadi motivator.

Sekarang ini aku merasa terpanggil. Aku harus belajar dan setidaknya sama dengan mereka atau selevel dibawahnya. Tapi aku tidak peduli atau malu hati untuk belajar mengaji bersama-sama orang yang mempunyai hati. Kupikir aku masih diberi kesempatan untuk menimba ilmu agama yang tak pernah aku pelajari sewaktu aku masih aktif dulu. Sekalipun dulu aku pernah belajar mengaji, tapi ternyata aku miskin dalam ilmu agama, apalagi dalam mengaji dan mengkaji ayat-ayat Al Qur’an.

Sungguh aku malu dengan diriku sendiri, padahal aku pernah pergi keluar negeri ke Amerika Serikat, ke Las Vegas, ke Arizona, ke Washington dc, ke Singapore, ke Malaysia, ke Bangkok, ke Manila, ke Seoul, ke China dan bahkan pergi ke propinsi-propinsi di wilayah Indonesia. Tapi aku miskin ilmu agama. Aku miskin hapalan do’a. Aku miskin bacaan Al Qur’an. Aku tidak mengenal apa yang namanya ilmu mahraj, tajwid, nahwu, sharaf, dan lainnya. Aku malu belum sepenuhnya mengerti tentang rukun islam, rukun iman dan rukun ihsan. Betapa bodohnya aku yang ketinggalan ilmu agama dengan mereka yang telah mengerti lebih dahulu tentang agama yang dianutnya. Tapi, Aku bersyukur masih diberi waktu dan kesempatan untuk belajar. Aku bersyukur masih dikasih kesehatan badan dan dikuatkan kakiku untuk berjalan. Sehingga setiap waktu aku dapat pergi ketempat majlis ilmu sambil membawa tas kecil dipundak yang berisi kertas-kertas catatan tafsir qur’an. Aku bangga dalam usiaku yang dianggap sebagai orang lansia tapi aku masih tetap belajar. Komunitasku saat ini adalah orang-orang tua yang masih punya semangat belajar. Aku bertekad memanfaatkan waktu yang tersisa dalam mencari sesuatu yang terbaik untuk kehidupanku dimasa depan.

Dulu kantor pusatku hanya ada di jalan pejambon. Kini kantorku adalah masjid dan mushala. Tempat rapatku adalah majlis ilmu dan tempat-tempat orang yang suka memberi ceramah. Komunitasku adalah orang-orang tua yang telah renta dan papa. Yang jalannya saja sudah susah. Yang rambutnya sudah putih-putih. Dan kalau bicara agak sedikit keras karena pendengarannya sudah kurang peka.

Aku bersyukur duduk dalam organisasi sosial yang setiap waktu bekerja untuk orang-orang yang terkena musibah. Aku dan teman-temanku yang setia selalu bekerja bersama. Kalau ada musibah kendaraanku ambulan pengangkut jenazah. Dan tugasku mengantar mereka ketempat peristirahatan yang terakhir untuk selama-lamanya.

Ya Allah, berilah kesehatan kepadaku untuk aku dapat mengabdi pada pekerjaan sosial ini. Aku sama sekali tidak mengharapkan sesuatu. Aku tidak mencari nama atas pekerjaaku ini. Aku hanya mencari ridha-MU dalam memanfaatkan sisa umurku ini untuk amalan dan kebaikan bagi banyak orang. Ya Allah berikanlah aku kesempatan untuk aku mengamalkan ilmuku agar dapat bermanfaat bagi banyak orang. Ampunilah aku ya Allah jika aku salah atau khilaf dalam dalam aku beramal.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar