Senin, 21 April 2014

Siapa Yang Menanam Dia Yang Akan Menuainya

Setiap orang akan memikul tanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Apapun usaha yang telah dilakukannya, buruk dan baik adalah buah perilaku yang dilakukannya sendiri. Artinya, “siapa yang menanam, tentulah dia yang akan menuainya”, sekalipun terkadang ada juga yang menyebut “siapa yang menanam tapi orang lain yang menuainya”.

Axioma kedua ini adalah pengecualian karena sesuatu hal yang menyebabkan karena ingin berbuat kebaikan kepada orang lain atau karena ingin memberikan sesuatu kepada anak keturunannya.

Untuk aksioma yang kedua ini bisa saja hal itu terjadi, namun biasanya dilakukan oleh orang-orang yang arif dan bijaksana, serta mempunyai pandangan yang jauh kedepan bagi anak dan keturunannya. Mereka berprinsip menanam kebaikan saat ini dan mengharap hasilnya dapat dinikmati oleh anak dan keturunannya agar dapat hidup bahagia dan sejahtera. Ibarat seorang kakek/nenek yang sudah tua dan telah berumur dan ia mempunyai pekarangan yang cukup luas di sekitar rumahnya, ia menanam pohon kelapa atau pohon buah (mangga, durian, rambutan, jambu, sawo,  dan lainnya) dipekarangannya, sementara sebelum menikmati hasilnya ia telah meninggal dunia, maka warisannya itulah yang akan diterima dan dinikmati oleh anak-anak keturunannya dan mungkin juga orang lain yang ada disekitarnya.

Pohon-pohon yang ditanam itu merupakan kebaikan yang dibangun untuk dinikmati oleh siapa saja termasuk untuk burung-burung, codot, kelelawar bajing dan binatang lainnya yang suka dengan buah-buahan. Mereka tidak mengusirnya karena tujuan menanam itu adalah untuk manusia dan binatang, sehingga ia merasa bangga dapat juga memberikan makan bagi binatang-binatang liar tersebut yang ingin memakan buah buahan tersebut.

Kakek nenek kita dulu memang memiliki sawah atau kebun itu karena warisan dari orang tuanya. Sementara sekarang ini banyak orang yang memiliki sawah, kebun atau pekarang dibelinya dari uang hasil korupsi, dari hasil mencuri-merampok atau menggerogoti keuangan negara, atau merekayasa proyek fiktif yang anggarannya masuk dalam rekening pribadi, dan atau melakukan korupsi yang pada akhirnya ia memiliki harta kekayaan dari hasil penghasilan yang tidak sah. Padahal dengan melakukan korupsi itu ia akan membawa kesusahan dan penderitaan bagi dirinya dan keluarganya.

Mereka sengaja melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu dengan melaku korupsi  dengan maksud untuk memperkaya diri karena harta kekayaan yang dimiliki masih dianggap kurang. Sehingga terlena untuk terus melakukan penyelewengan dan merekayasa laporan fiktif atau palsu. Padahal apabila ia tertangkap oleh KPK dengan dakwaan melakukan perampokan uang negara maka perbuatan itu  dianggap sebagai melanggar hukum dan kriminal. Namanya akan mencuat menjadi populer dan terkenal keseantaro dunia seperti selebritis karena selalu disebut-sebut setiap saat dalam berita atau headline news. Sedangkan wajahnya selalu di close up terpampang di media TV atau di media cetak. Dan yang lebih memalukan lagi adalah diberinya pakaian trophy warna orange dengan tulisan dibelakang punggungnya sebagai “Tahanan KPK”.

Allah SWT telah mengingatkan kepada kita agar kita waspada dan berhati-hati dalam hal menjaga amanah. Karena jabatan itu adalah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Apabila kita telah merusak amanah itu, maka bersiap-siaplah kita menerima kehancuran yang kita buat sendiri dan berdampak tidak hanya kepada diri kita sendiri tetapi juga kepada keluarga kita (isteri, anak, orang tua dan mertua, famili dan saudara sekandung). Kita akan merasa malu hidup ditengah-tengah masyarakat dengan sebutan sebagai ”Koruptor”.

Allah berfirman dalam Al Qur’an di surat Al Israa’ ayat 15 menyatakan : “Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain”. 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar